Jakarta, (puterariau.com)
Majelis Pers Independen (MPI) lahir dari rahim reformasi yaitu pada tahun 1999 atas prakarsa dan buah pemikiran 28 organisasi pers reformis untuk merumuskan berbagai hal yang telah berjuang dan memberi ruang kemerdekaan pers.
Hasil yang dicapai Majelis Pers Independen (MPI) kala itu dengan penyusunan kode etik wartawan dan merumuskan RUU Pers ke DPR RI yang membidani lahirnya Undang Undang No. 40 Thn 1999 Tentang Pers secara konstitusi.
Undang-Undang tersebut mengamanahkan dibentuknya Dewan Pers independen karena dewan pers produk rezim orde baru dinyatakan demisioner oleh Yakub Utama yang saat itu sebagai pelaksan harian dewan pers pada rakor Deppen bersama organisasi organisasi wartawan tanggal 16 sampai dengan 18 Maret tahun 1999.
Mereka telah meratifikasi kembali dari kode etik wartawan (KEWI) menjadi kode etik jurnalistik (KEJ) serta memberi penguatan penguatan kepada dewan pers sebagai ujung tombak umat pers dalam mengawal agenda reformasi dan demokrasi sebagai bagian dari pilar keempat demokrasi.
Maka tercetuslah UU Pers Nomor 40 tahun 1999 yang merupakan garis lurus amanah UUD’45 amandemen pasal 28 huruf (a) sampai (f) tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat dan memperoleh hak informasi, serta ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
“UU Pers saya katakan premateur dan belum sempurna, kenapa? Kalau mengacu pada UUD’45, perlu dilihat amandemennya. Karena media adalah sebagai informasi publik,” sebut Alamsyah.
Dikatakannya, Dewan Pers bukan sebagai satu-satunya lembaga tertinggi pers di Indonesia. Di dalam UU Pers, nama dewan pers tidak muncul di Pasal 1 tentang ‘Ketentuan Umum.’
Munculnya Dewan Pers hanya terdapat di Pasal 15 UU Pers yang berbunyi akan dibentuknya Dewan Pers. Hal itu dapat dikatakan keberadaan Dewan Pers tidak memiliki ketentuan umum yang kuat dan sejalan dengan marwah pers Independent Indonesia.
Difinisinya, Dewan Pers dikatakan sebagai lembaga adhock yang tidak boleh mengambil kebijakan dan keputusan secara sepihak.
“Untuk itu perlu adanya kajian dan pembedahan UU Pers 40/1999, hal itu dianggap perlu untuk menjalankan fungsi Pers Indonesia yang Independen dengan tidak melakukan diskriminatif kemerdekaan pers,” jelas Alamsyah lagi.
Disebutkan, pesatnya perkembangan pers Indonesia, maka keberadaan Dewan Pers sudah tidak lagi menjadi payung hukum para organisasi pers, perusahaan pers dan wartawan sebagai penguatan kemerdekaan pers seperti yang diamanahkan Undang Undang.
Hal itu disampaikan Alamsyah Hanafih SH MH saat digelarnya rapat Majelis Pers terkait Evaluasi UU Pers di gedung dewan pers, Lantai 5 Jakarta.
Ditempat yang sama, Ozzy Sulaiman Sudiro, selaku Sekjen Majelis Pers juga mengatakan bahwa keberadaan Dewan Pers hanya berfungsi sebagai fasilitator bagi seluruh organisasi pers dan perusahaan media.
Jadi sesuai Undang-Undang, keberadaan Dewan Pers tidak
ada satupun pasal menerangkan kewenangannya dewan pers terkait legislasi dan verifikasi namun hanya mendata organisasi wartawan dan perusahan media.
Apalagi memiliki hak menentukan kebijakan yang justru berpotensi memberangus kemerdekaan pers itu sendiri dengan modus akal-akalan untuk kepentingan “rulling party.
Seharusnya sesuai salah satu fungsi dewan pers, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, bukan malah mematikan kehidupan pers.
Pers adalah produk etika yang secara eksistensinya, produk jurnalis adalah muatan informasi. Munculnya berbagai macam konflik horizontal maupun vertikal terhadap sengketa pers yang menandakan lemahnya UU Pers.
Banyak keluhan masyarakat terhadap pers antara lain, masih banyak media yang mengabaikan nilai-nilai privasi, mengembangkan pornografi, fitnah, gosip, Sara, sadisme serta mengemas berita dalam dimensi konflik, atau pada intinya masih banyak media yang mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik di dalam pemberitaannya.
Ironisnya, pelanggaran terhadap kode etik tidak ada sanksi hukum yang ada sangsi organisasi, yaitu pelanggaran kode etik dan profesi. Pertanyaannya adalah banyak sekali wartawan yang tidak masuk organisasi. Hal itu dikatakan Ozzy Sulaiman sebagai Sekjen Majelis Pers.
Perlunya Judicial Review (JR) sebagai penyempurnaan UU Pers No. 40/1999 menjadi perhatian publik. Sejalan dengan itu, maka Majelis Pers mengajak para organisasi Pers Nasional untuk bersama sama menyikapi permasalahan yang krusial terhadap perkembangan Pers Nasional.
Judicial Doktor (JD) Sunardjo Sumargono, mantan staft khusus MPR RI juga menyampaikan hal yang sama saat digelarnya rapat evaluasi UU Pers yang dilaksanakan oleh Majelis Pers di Jl. Juanda Raya Jakarta, Sabtu (25/11).
Rapat yang dihadiri oleh 15 organisasi pers Nasional antara lain KWRI, AWDI, PWRI, KO-WAPPI, PEWARPI, IWARI, FPII, KEWADI, SERIKAT PEWARTA, AWI, AWPI, SPRI, PKWRI, AKRINDO dan IMOJI.
Disampaikannya, itu menjadi rumusan dengan pemikiran bersama, bahwa keberadaan Dewan Pers bisa direformasi secara total dari bentukan pengurusnya, maupun aturan–aturan yang sejalan dengan kemerdekaan pers.
Di dalam UU Pers dikatakan bahwa rekonstruksi dan reformasi perubahan–perubahan atau dengan jalan dibubarkannya perangkat dewan pers oleh organisasi–organisasi pers, pimpinan perusahaan pers.
Sambungnya, sebagai referensi aktif, bisa memanggil tokoh–tokoh masyarakat ahli di bidang pers. Namun, dalam penentunya, pengambil keputusan pembentukan, reformasi dan pembubaran perangkat dari Dewan Pers melalui persetujuan para organisasi–organisasi pers dan para pimpinan perusahaan pers, atau bisa dilanjutkan keberadaan perangkat dewan pers tersebut dengan aturan–aturan yang disepakati bersama sesuai UU Pers perubahan.
“Secara konstitusi, permasalahan UU Pers tidak melanggar konstitusi, harus dibuat amandemennya dan ajukan perubahan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, karena secara hukum, pasal–pasal yang ada di UU Pers banyak memiliki kelemahan dan kekurangan. Saya mendukung Majelis Pers untuk segera ajukan perubahan dan penyempurnaan UU Pers ke DPR RI,” ungkapnya.
Apalagi setakat ini, dari penelusuran di lapangan bermunculan berbagai kontroversi yang ditimbulkan fatwa dewan pers. Dimana fatwa yang dikumandangkan adalah media harus diverifikasi, sehingga baru diperbolehkan bekerja sama.
Tentunya media yang telah dipilih dan diverifikasi adalah sesuai syarat dan ketentuan sehingga akan memberangus kebebasan dan independensi pers nasional. Ada apa media di balik media yang bekerja sama harus seizin dewan pers itu sendiri ? (pr/rls)