Pekanbaru, (puterariau.com)
Kaum sumbu pendek di Riau bikin statemen terkait kepengurusan PPP yang syah. Entah katrok atau katak dalam tempurung, yang penting statemen mereka berbau asalan dan menentukan mana yang benar dan mana yang salah demi syahwat politik mereka.
Bahkan ada yang menuduh salah seorang Balongub Riau tidak cerdas mendaftar ke PPP Djan Farids. Hellow.... Tak baca berita atau memang tak tau perkembangan ? Hari-hari nongkrong di warung kopi aja ya ? Hehehe...
Kandidat cerdas mesti memilah dan memilih mana yang syah secara hukum bukan berdasarkan statemen semata. Inilah yang terjadi pada pendaftaran balon Gubernur Riau saat ini dimana adanya opini seputar PPP Riau.
Sebagaimana diketahui, Bakal calon Gubernur Riau terkuat, HM Harris telah mendaftarkan diri di DPW PPP yang diketuai oleh Djan Faridz. "Beliau melihat perkembangan terkini dan karena cerdas itulah, Pak Harris mendaftar ke PPP Djan Faridz," ujar Ketua DPW PPP Riau, Drs. Umrah HM Thaib melalui Wakil Sekretaris DPW PPP Riau, Fadila Saputra.
"Kita lihat dari PK 79 itu telah menguatkan posisi Mukhtamar Jakarta yang Ketumnya Pak Djan Faridz," tegas Fadil.
Dikatakannya, saat ini ada bakal calon Gubernur yang akan mendaftar ke PPP. "Komunikasi pun sudah ada, dalam waktu dekat ada yang mendaftar," katanya.
Fadil menyebutkan bahwa perpolitikan di pusat telah terang benderang mengatakan bahwa yang sebenarnya yang syah itu adalah DPP PPP Djan Faridz. Namun, masih ada kaum sumbu pendek dan bumi datar zaman baholak yang menyebutkan bahwa yang syah itu kubu sebelah. "Jangan gagal paham dong dalam berpolitik, jangan katrok. Lihat perkembangan terbaru, sudah jelas PK 79 menguatkan PPP Djan Faridz yang syah secara hukum Negara Republik Indonesia. Hukum mana lagi yang mereka pakai, hukum kampung sebelah," ungkap Fadil.
Oleh karena itu, ia menegaskan agar jangan takut mendaftar ke PPP Djan Faridz, Insya Allah dalam waktu dekat SK kita akan keluar dari Menkumham," sebutnya.
DPP PPP Djan Faridz Syah Secara Hukum
Hal ini berawal dari putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) sudah jelas menguatkan hasil Muktamar Jakarta, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) belum juga merespon dengan mencabut Surat Keputusan (SK) Romahurmuziy dan menerbitkan SK Djan Faridz.
Presiden Jokowi selaku pemimpin
pemerintahan diharapkan memanggil dan menegur Yasonna Laoly karena mengabaikan kewajiban hukum dari putusan PK MA dan Mahkamah Partai PPP.
Demikian desakan yang dilontarkan mantan hakim MK, Arsyad Sanusi, pekan kemarin. Kata Arsyad, kasus dualisme
kepengurusan di PPP jika dilihat dari fakta hukum dan keputusan hukum yang ada, kebenarannya sudah usai dengan sahnya kepengurusan hasil Muktamar Jakarta.
Namun, fakta hukum diabaikan oleh Menkumham sebagai pihak yang bertanggungjawab mengeluarkan SK bagi partai politik. Untuk itu, jika merunut pada proses yang ada dan jika Menkumham tetap tidak merespon maka dimungkinkan PTUN memanggil Presiden, karena nanti finalnya pada Presiden.
“Kalau permohonan Mahkamah Partai PPP tidak direspon oleh Menkumham, maka, ujung-ujungnya nanti proses tindakan hukum selanjutnya tata usaha negara sampai Presiden. Presiden harus menegur Menkumham, karena itu kewajiban hukumnya,” ungkap Arsyad meyakinkan.
Terlepas dari kasus politik yang ada, ujar Arsyad, jangan campurkan masalah hukum dengan politik yang berkembang saat ini. Dalam arti, jika Pemerintah khususnya Menkumham taat pada hukum yang berlaku maka Putusan PK MA harus dihormati, putusan Mahkamah Partai harus hormati.
“Harusnya Menteri Yasonna mencabut SK Romy dan menerbitkan SK baru, itu jika taat pada hukum, tapi yang ada mengabaikan kewajiban hukum.”
Menjadi kewajiban hukum bagi pejabat negara untuk melaksanakan kewajiban hukumnya. Sebab Mahkamah Partai sebagai keputusan tertinggi dalam AD/ART dikuatkan dengan putusan PK MA.
Diterangkan dia, denganpenerbitan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI. Nomor: M.HH-3.AH.11.01. Tahun 2016 dimaksud, Menkumham telah mengabaikan hasil Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Jakarta yang telah memilih kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di bawah pimpinan H. Djan Faridz selaku Ketua Umum, periode 2014–2019.
Menteri Hukum dan HAM telah mengabaikan keabsahan Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan, Jakarta yang diadakan berdasarkan Putusan Mahkamah Partai DPP PPP Nomor 49/PIP/MP-DPP.PPP/2014, tanggal 11 Oktober 2014.
Yasonna telah mengabaikan otoritas suatu Mahkamah Partai Politik yang bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, sebagaimana dimaksud Pasal 32. ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Hal keabsahan dan otoritas suatu Mahkamah Partai Politik juga dirujuk dalam pertimbangan hukum (tenaanzien van het recht) Putusan Mahkamah Agung RI. Nomor 79/PK/Pdt.Sus-Parpol/2016, tanggal 12 Juni 2017 (= halaman 121).
Dilanjutkan, bahwa 2 SK yang di keluarkan oleh Menkumham itu semuanya mendasarkan legal basik dalam putusan MA 504 yang tidak ada dalam amar putusan Aquo, yang mana dalam pertimbangan SK 03 tersebut Menkumham berdalih dalam pertimbangannya bahwa: Alasan dokumen pendaftaran Djan Faridz belum lengkap faktanya sudah sudah dilengkapin ada bukti-bukti dokumentasi untuk mengisi kekosongan pengurus PPP. (pr.doc/rls)