Palu, (puterariau.com)
Tindakan mengacung-acungkan senjata tajam berupa kapak dan gergaji besi yang dilakukan MN penghuni rumah susun di Pulo Gebang Jakarta Timur di hadapan anak-anak saat anak sedang menjalankan kewajiban beribadah dan berdoa bersama teman sebayanya merupakan tindak pidana kekerasan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia apapun alasannya. Apalagi dilakukan oleh orang yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak.
Sangat disayangkan, tindakan sengaja yang dilakukan MN dengan cara berteriak-teriak dengan membawa sajam di hadapan anak pada saat sedang anak sedang menjalan ibadah "doa ceria anak" dan menjalankan kewajiban asasinya yakni beribadah merupakan tindakan sangat tidak terpuji dan melukai harkat dan martabat anak.
Selain itu, tindakan MN selain membuat anak-anak trauma mendalam juga merupakan tindakan pidana yng tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara kompromi dan damai.
Untuk mendapat kepastian hukum, ancaman kekerasan dengan senjata tajam terhadap anak harus diselesaikan dengan cara dan pendekatan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 82 UU RI No. 23 tahun 2004 yang telah diubah kedalam UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dan ketentuan UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), tindakan M yang mengakibatkan sampai anak berteriak-teriak dan menjerit ketakutan dan minta tolong pada peristiwa itu dapat dipastikan anak trauma dan depressi berat.
Dengan demikian tidak ada kata kompromi terhadap perlakuan ini, dan MN harus bertanggungjawab secara hukum sesuai dengan perbuatannya. Oleh hukum, ancaman kekerasan dengan menggunakan sajam adalah tindak pidana.
Oleh sebab itu, untuk menghentikan bentuk-bentuk kekerasan seperti ini tidak terulang lagi, apalagi bila ada niatan atau unsur kesengajaan untuk menghentikan hak anak dalam menjalankan hak asasinya untuk menjalankan keyakinannya, Komisi Nasional Perlindungan Anak yang selanjutnya disebut Komnas Anak yang memberikan pelayanan di bidang pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia tanpa diskriminasi di seluruh wilayah hukum Indonesia dan berlaku universal segera mendesak otoritas penegak hukum yakni Polisi untuk segera menangkap pelaku dan memintai pertanggungjawaban hukum atas tindakannya mencederai dan melukai harkat dan martabat sebagai anak.
Apalagi kegiatan ibadah doa anak ceria sudah mendapat ijin dari otoritas pengelola rumah susun sebelumnya. Tindakan mediasi bisa dilakukan untuk mencari latarbelakang kejadiannya sebagai prasyarat saja untuk mencari kebenaran dan meminta pertanggungjawaban hukum kepada pelaku, demikian disampaikan Aris Merdeka Sirait, Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak dalam keterangan persnya di Palu, Senin (25/09/17).
Untuk membantu dan memulihkan tingkat trauma dan depressi anak serta untuk membantu proses penegakan hukum atas tindakan MN, Komnas Perlindungan Anak segera menurunkan tim relawan (staff pengaduan dan tim psikolog) bersama LPA DKI Jakarta dan pegiat perlindungan anak untuk memberikan pelayanan trauma healing kepada korban dan keluarga korban.
"Sekali lagi tidak ada kata kompromi terhadap kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap anak apalagi dengan menggunakan senjata tajam untuk menghentikan hak anak untuk menjalankan hak asasinya yakni beribadah, tindakan seperti ini, siapapun yng melakukannya tidak ada kata konpromi terhadap kekerasan anak.
Oleh konvensi PBB tentang Hak Anak dan Deklarasi Hak Asasi Manusia menetapkan seluruh negara di dunia mempunyai kewajiban dan "setiap anak menjalankan hak asasi untuk beribadah adalah hak fundamental dan berlaku universal tanpa diskriminasi, yang oleh semua orang keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara mesti memberikan dan menjaga hak anak ini " tambah Aris. (eman/rls)