Fadila Saputra, Wasekjen DPW PPP Riau
Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab di bibir tapi sangat dinantikan masyarakat intelektual saat ini. Yakni kenapa Kepala Daerah (Gubernur,Walikota dan Bupati-red) bisa kaya raya dan berlimpah harta ? Tanpa perlu menuduh kita perlu cermati satu per satu.
Kepala Daerah yang kita singkat KDH merupakan jabatan politik yang dipilih langsung oleh rakyat. Hampir semua orang ingin jadi Kepala Daerah. Sebab jabatan itu menjanjikan kekuasaan dan kekayaan yang luar biasa besar.
Ibarat raja kecil’ yang tak punya atasan lagi di daerah tersebut. Harta-harta bisa dicaplok sesuka hati. Itu sebabnya, anggota DPR atau mantan menteri pun ngiler untuk menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota. Mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk meraihnya.
Padahal gaji pokok dan tunjangan Kepala Daerah itu kecil. Dari informasi, semisalnya Gubernur sekitar Rp. 7,4 juta per bulan, Bupati/Walikota sekitar Rp. 5,9 juta per bulan. Menteri sekitar Rp. 18 juta, Ketua DPR Rp. 24 juta, anggota DPR Rp. 14 juta. Bahkan seorang Presiden hanya sekitar Rp. 62,9 juta.
Intinya, gaji yang halal seorang Kepala Daerah itu kecil dan tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk menjadikan mereka di tahta tersebut. Selain itu, biaya operasional dan dana taktis yang tak jelas dan lebih kecil dari menteri yang Rp.150 juta per bulan.
Mengapa menjadi Kepala Daerah bisa berebut ? Pasti jabatan Kepala Daerah itu memiliki daya tarik magic sehingga banyak yang ngotot bak anjing rebutan tulang. Sebagai Bupati misalnya, pasti jadi raja di kabupaten yang dipimpinnya. Nah, ibarat jadi raja, semua yang ada di daerah itu adalah kekuasaannya.
Walikota pun demikian. Kota itu adalah kerajaan sang walikota. Itu dampak dari UU otonomi daerah yang bikin Bupati atau Walikota jadi raja. Awalnya sebelum ada revisi tentang UU Otda dan UU terkait, jabatan Gubernur tak begitu sehebat Bupati/Walikota. Namun saat ini, Gubernur juga punya kekuasaan yang sangat besar. Banyak kewenangan pusat yang dilimpahkan pada Gubernur dan kewenangan Bupati/Walikota yang ditarik ke Gubernur.
Karena posisinya yang demikian, tentu dapat pelayanan bak raja. Dikawal kemana-mana, disembah-sembah, dapat upeti, bahkan bisa kawin batambuah. Layaknya selaku bos, Kepala Daerah sesuka hati di daerahnya. Bebas menentukan sendiri aturan dengan trik-trik yang cerdik.
Jika Kepala Daerah itu tidak cerdik dan licin, tentu esoknya ia bakalan jadi tersangka gembel di penjara KPK, Polisi atau kejaksaan. Makanya banyak Gubernur, Bupati dan Walikota yang rakus tapi stupid yang akhirnya jadi tersangka, terdakwa dan narapidana.
Sumber kekayaan mereka awalnya syah dan halal adalah dari upah pungut yang besarnya 0.25-0.5% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bisa dikalkulasi jika dengan PAD suatu daerah. Sumber pendapatan lain yang sangat besar : Jual beli izin (tambang, perkebunan, hutan dst) ; Selain biaya resmi, ada juga biaya upeti.
Masalah upeti dan segala jenis izin yang ada tak perlu ditanya lagi, publik telah maklum. Parahnya, Gubernur/Bupati/Walikota yang serakah bin tamak terkadang langgar hukum dan prosedur. Mereka bahkan ada yang menerbitkan SK izin ganda/tumpang tindih.
Sumber kekayaan mereka yang lain adalah Proyek APBD. Sudah merupakan rahasia yang tidak rahasia lagi, jika Gubernur/Bupati/Walikota dapat setoran sekian persen. Itu yang terjadi selama ini, sehingga mereka makin menjadi konglomerat politik atas jabatan yang diemban.
Bekerja sama dengan pegawai-pegawai penipu dan rakus harta berkolaborasi dalam membabat fee dari proyek-proyek APBN dan APBD. Itu merupakan hal yang wajib, kalau tidak ada upeti semacam fee, kegiatan tidak akan jalan. Tentu upeti dan fee itu tergolong pada kategori gratifikasi atau suap yang jelas melanggar hukum.
Selama ini, penegak hukum dan rakyat sulit membuktikan suap yang dilakukan Kepala Daerah, kecuali terhadap Kepala Daerah yang memang goblok mau menerima suap pake transfer bank dan mensaving duit haramnya di Bank lokal. Kalau ada yang semacam ini, tentu ini Kepala Daerah yang tolol bin bego.
Sumber uang haram lainnya adalah jualan jabatan strategis di daerahnya. Misalnya jabatan strategis seperti Sekda, Kadis PU, Kadiskes, Kadispenda, Bawasda, Direksi BUMD (termasuk BPD), Camat-Camat, dan lain-lainnya. Setelah menduduki jabatan itu, perangkat-perangkat tadi akan tahu diri. Yakni, setoran rutin ke Kepala Daerah. Itu sebuah kelumrahan jika fenomena ini sampai ke publik. Hingga apapun penyelewengan yang dilakukan Kepala Daerah selama ini, adalah berkat diamini oleh masyarakat.
Oleh : Fadila Saputra, Wakil Sekretaris DPW PPP Propinsi Riau