Polda Kepri Gelar Sosialisasi Pencegahan Paham Radikalisme Dan Penyakit Masyarakat

Posted by On Monday, October 30, 2017


Batam, (puterariau.com)

Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Pol Drs. S Erlangga menerangkan tentang sosialisasi/workshop perlindungan anak dan pencegahan paham radikalisme dan idiologi Pancasila di Propinsi Kepri. 

Sosialisasi dan workshop dilaksanakan di Ballroom Hotel Allium Batam, Senin (30/10/2017) sekira pukul 07.00 WIB dihadiri oleh Waka Polda Kepri Brigjen Pol Drs. Didi Haryono SH MH, Ibu Gubernur Propinsi Kepri, Ketua BP Batam yang mewakili Dir Binmas Polda Kepri, para pejabat utama Polda Kepri serta para peserta forum dialog.

Dalam sambutan Kapolda Kepri yang dibacakan oleh Wakapolda Kepri menyampaikan kegiatan ini bertujuan untuk menghimpun dan menginventarisir ide, gagasan dan cara pandang sehingga diharapkan tercapainya satu kesepakatan pola yang terbaik bagi generasi muda dalam mengantisipasi paham radikalisme dan ideologi anti Pancasila. 

Diharapkan seluruh elemen masyarakat bahu membahu bersama polri menjalin kemitraan agar semakin erat serta dapat terwujud melalui kerja sama yang saling bersinergi untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme yang dapat terdeteksi dan dicegah sejak dini terutama pada generasi muda. 

Salah satu tantangan nyata bagi keutuhan dan kesatuan bangsa ini adalah terorisme, terorisme tidak hanya menimbulkan kerugian material dan nyawa serta menciptakan rasa takut di masyarakat. 

Tetapi terorisme juga telah mengoyak keutuhan berbangsa dan bernegara. Terorisme telah membuat kita saling curiga dan saling memusuhi. Terorisme pun telah mencabik ikatan persaudaraan dan nilai-nilai toleransi yang sejatinya menjadi kultur budaya bangsa ini.

Perlu dipahami bersama bahwa ancaman terbesar terorisme bukan hanya terletak pada aspek serangan fisik yang mengerikan, tetapi justru serangan propaganda yang secara masif menyasar pola pikir dan pandangan masyarakat itulah yang lebih berbahaya. 

Salah satu kelompok teroris yang sangat meresahkan akhir-akhir ini adalah kelompok yang mengatasnamakan diri Islamic State Of Iraq And Syiria (ISIS). Kelompok radikal terorisme baru ini semakin hari semakin meresahkan. 

Pengaruh propaganda dan agitasi yang bernuansa kekerasan, permusuhan, penghasutan dan ajakan untuk berbagung telah banyak menyasar masyarakat, terlebih sasaran target mereka yang sangat rentan adalah kalangan generasi muda. 

ISIS dewasa ini telah menjadi kekuatan terorisme global baru yang lebih menakutkan dari jaringan Al-Qaeda, selain aksi-aksi brutalnya, isis sangat berbahaya karena kemampuannya dalam menjaring para pejuang asing (Foreign Terrorist Fighter) dari berbagai negara, tidak terkecuali dari Indonesia.

ISIS yang pada mulanya hanyalah kekuatan milisi nasional di Irak yang muncul akibat konflik politik di dalam negeri pasca pemerintah Saddam Hussein, kini menjelma menjadi kekuatan transnasional yang menakutkan beberapa negara. 

Disinilah perlu ditegaskan bahwa ISIS hanyalah buah dari konflik politik domestik Irak-Suriah yang tidak ada kaitannya dengan faktor keagamaan. Apa yang membuatnya menjadi gerakan global dan menarik simpati dari berbagai negara karena mereka telah membungkus perjuangan politiknya dengan tipu daya perjuangan keagmaan melalui deklarasi berdirinya khilafah. 

Gerakan politik lokal ISIS ini nyata menggunakan topeng agama dalam rangka menarik simpati dan dukungan secara global dan sangat disayangkan sudah banyak kalangan generasi muda yang sudah terperdaya rayuan ISIS, baik karena motivasi keagamaan, ekonomi, pencarian identitas maupun motivasi lainnya. 

Selain pola penyebaran propaganda konvensional, isis dikenal sebagai kelompok teroris yang secara cerdas memanfaatkan kekuatan teknologi dan informasi internet khususnya media sosial sebagai alat propaganda sekaligus rekrutmen keanggotaan, dan secara faktual banyak sekali anak muda yang bergabung dengan isis akibat pengaruh propaganda dan jejaring pertemuan di media online.

Kalangan generasi muda menjadi sasaran dan target propaganda dan rekrutmen ISIS. Sudah banyak cerita dari berbagai negara anak muda dari pelajar sehingga mahasiswa yang memilih meninggalkan negaranya untuk bergabung dengan ISIS. 

Masa transisi krisis identitas kalangan pemuda berkemungkinan untuk mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai Cognitive Opening (Pembukaan Kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. 

Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan dan terorisme. 

Sementara itu, kelompok teroris menyadari problem psikologis generasi muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. 

Mereka juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan melancarkan agenda kekerasan.

Saya menaruh harapan besar kepada instansi terkait, para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan mubaligh Se-Provinsi Kepulauan Riau serta seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama terus berjuang dalam pembinaan akhlak, utamanya mendorong tumbuhnya sikap peduli dan rasa empati masyarakat terutama pada generasi muda. 

Maka pihaknya mengajak semua untuk bisa saling menghargai, bergotong royong, saling membantu dan hidup rukun baik intern umat islam maupun dengan umat pemeluk agama lain. Juga yang tidak kalah penting rukun antar umat beragama dengan pemerintah. Kalau ini bisa kita wujudkan, insya allah kepulauan riau yang sudah kondusif ini akan selalu dalam suasana kehidupan yang aman, nyaman, tentram dan damai. (Rega/hmspolda kepri)
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »