Pekanbaru, (puterariau.com)
PT. Chevron kembali melanggar Peraturan dan Perundang-Undangan di NKRI. Dimana Chevron telah melakukan pelanggaran kebebasan berserikat dan pemaksaan kehendak.
Akibatnya, Presiden Direktur PT. Chevron dilaporkan oleh SARBUMUSI, Albert Simanjuntak kembali menjadi fokus kasus yang dilaporkan dengan Surat Nomor 138/SBM-CPI/XI/2017.
Hal ini memperhatikan surat PT. Chevron Pacific Indonesia, tanggal 7 November 2017 yang mengundang pengurus basis SARBUMUSI PT. Chevron Pacific Indonesia tentang tindak lanjut pertemuan IBU-CT untuk tanggal 9 November 2017.
Bahwa dalam surat tersebut pihak PT. Chevron Pacific Indonesia membuat catatan, “NB : Mengingat Ketua Sarbumusi Basis CPI saat ini sedang dalam status dibebastugaskan, mohon untuk dapat didelegasikan kepada pengurus lain.
Bahwa tentang catatan tersebut juga dimuat oleh PT. Chevron Pacific Indonesia pada surat Nomor : 166/RBI/2017, dengan hal : Tanggapan atas Surat Sarbumusi Basis CPI No. 133/SBM-CPI/X/2017, tanggal : 4 Oktober 2017. Kedua surat yang dikeluarkan PT. Chevron Pacific Indonesia semuanya untuk membahas tentang IBU-CT.
Adanya kasus tersebut, pihak SARBUMUSI PT. CPI menegaskan bahwa Chevron kembali jelas dan nyata melakukan pelanggaran kebebasan berserikat kepada H. Nofel selaku karyawannya dan Ketua SARBUMUSI basis Chevron.
Dalam hal ini nyata bahwa PT. Chevron Pacific Indonesia telah melakukan pelanggaran perlindungan hak berorganisasi Pasal 28 dan UU No.21 Tahun 2000 tentang SP/SB terhadap Sdr. H. Nofel selaku Ketua PB SARBUMUSI PT. Chevron Pacific Indonesia dengan sanksi hukumnya diatur pada Pasal 43 UU a quo.
Ditegaskan bahwa tidak ada kewenangan Direktur PT. Chevron Pacific Indonesia cq Manager HRIR Sumatera untuk mengintervensi Kepengurusan PB SARBUMUSI PT. CPI.
Terlebih lagi bahwa H. Nofel sebagai Ketua PB SARBUMUSI PT. CHEVRON PACIFIC INDONESIA berdasarkan Pasal 8, Pasal 13 dan Pasal 14 UU Nomor : 21 Tahun 2000 tentang SP/SB.
Diketahui bahwa status pembebasan sementara dari tugas H.Nofel oleh PT. Chevron Pacific Indonesia adalah berkaitan dengan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja yang sampai saat ini masih berproses di tingkat Mahkamah Agung (Kasasi), pada tingkat PHI Pekanbaru dengan Nomor : 15/Pdt/Sus-PHI/2016/PN.Pbr, tanggal 21 Juni 2017.
Bahwa surat skorsing yang diberikan PT. CPI kepada Sdr. Nofel tidak otomatis menghentikan kegiatan tanggung jawab serta kewajiban Sdr. H. Nofel sebagai Ketua PB SARBUMUSI PT. CPI yang diatur dalam Pasal 25 UU Nomor : 21 Tahun 2000 tentang SP/SB.
Dalam proses perselisihan PHK tersebut, PT. CPI memberikan surat skorsing kepada Sdr. H. Nofel, akan tetapi PT. CPI tidak patuh dan tidak taat untuk melaksanakan Pasal 155 Ayat 3 UU Nomor : 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini dibuktikan dengan dihentikannya upah Sdr. H. Nofel sejak bulan April 2017.
Bagaimana Tindak Lanjut IBU-CT ?
PB. SARBUMUSI PT. CPI telah melakukan gugatan atas tindakan PT. CPI yang melaksanakan program IBU-WFM yang bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama dan Pasal 129 UU Nomor : 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Perkara Nomor : 89/Pdt.Sus –PHI/2016/PN.Pbr. Sementara gugatan a quo juga sedang berproses di Mahkamah Agung (Kasasi).
Dilain sisi, program IBU-CT yang hendak dilakukan perusahaan sama halnya dengan program IBU-WFM. Ini sesuai dengan penjelasan Nugroho Eko Priamoko dalam suratnya Nomor : 1661/RBI/2017, tanggal 4 Oktober 2017, Hal : Tanggapan atas Surat Sarbumusi Basis CPI No.133/SBM-CPIU/IX/2017 dan Pernyataan Sikap No. 132/SBM-CPI/IX/2017, yang berbunyi : “Program IBU – CT merupakan bagian dari upaya perusahaan dalam mengelola aspek operasi perusahaan dan sumber daya manusia agar lebih efisien, efektif dan berdaya saing.
Terkait program tersebut diminta pekerja sepakat bahwa berdasarkan ketentuan pasal 9 Perjanjian Kerja Bersama (PKB), perusahaan memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan aspek operasi perusahaan dan sumber daya manusia dimaksud.
Dengan masih berprosesnya perkara a quo, maka secara hukum proses-proses yang berkaitan dengan IBU–WFM dan kelanjutannya IBU–CT tidak dapat diberlakukan sampai adanya keputusan incraht.
Dari uraian kasus diatas, SARBUMUSI menyatakan dan menyampaikan bahwa bila memang PT. Chevron Pacific Indonesia menjunjung tinggi hubungan industrial yang harmoni, dinamis dan berkeadilan dengan tetap mengutamakan kepatuhan terhadap peraturan perudangan yang berlaku (Sesuai pernyataan pembuka dari Nugroho Eko Priamoko dalam surat tertanggal 4 Oktober 2017), maka seharusnya PT.Chevron Pacific Indonesia menghentikan program IBU-CT yang merupakan kelanjutan dari IBU–WFM dan saat ini masih berproses di Mahkamah Agung RI.
Chevron juga harus menghentikan segala intervensi dan intimidasi kepada para pengurus PB SARBUMUSI PT. CPI khususnya kepada Ketua PB SARBUMUSI PT.CPI dengan cara melarang ikut dalam perundingan yang melibatkan kepengurusan PB SARBUMUSI PT. CPI yang diadakan.
Untuk keadilan dan menegakkan Peraturan Perundang-Undangan, Chevron harus membayarkan upah H. Nofel sejak bulan April 2017 ( Pasal 155 Ayat 3 UU Nomor : 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Dengan adanya surat-surat larangan PT. Chevron Pacific Indonesia kepada H. Nofel, maka hal itu telah disampaikan kepada Kapolda Riau cq Dir Reskrimsus Polda Riau untuk ditindaklanjuti.
Surat tersebut sebagai bukti tambahan atas laporan SARBUMUSI tentang pelanggaran kebebasan berserikat yang masih berproses di Dir. Reskrimsus Polda Riau sejak bulan Agustus 2015.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ketua SARBUMUSI basis Chevron, H. Nofel SH MH didampingi Sekretaris, Andri Trindo Darma ST.
Sementara itu, pihak Chevron masih sulit dikonfirmasi terkait kasus-kasus yang sedang terjadi. Presdir Alber Simanjuntak tetap tiarap mengikuti HRD, Rina Mariama yang tak kunjung memberikan keterangannya pada wartawan.(beni/fadil/tamba/pr)